Kamis, 08 September 2011

Loko Uap Tercepat Di Indonesia(DULU....hehehe)

Teman temen pasti udah lupa sama "eyang" nya loko-loko sekarang.yhaa....loko uap.sudah banyak railfans yang melupakan tentang keberadaan loko-loko ini.berikut ini akan saya jabarkan tentang loko-loko uap yang ndak mau kalah sama loko-loko sekarang....let see....

Lokomotif C28


Lokomotif uap C28 dibeli oleh perusahaan kereta api Staats Spoorwegen (SS) sebanyak 58 buah dari 3 pabrik yang berbeda. 30 lokomotif C28 dari pabrik Henschel (Jerman), 15 buah lokomotif C28 dari pabrik Hartmann (Jerman) dan 13 buah lokomotif C28 dari pabrik Esslingen (Jerman). Lokomotif C28 didatangkan pada tahun 1921 - 1922. Dengan jumlah sebanyak 58 buah, maka lokomotif ini merupakan populasi dominan pada jamannya dan operasionalnya hampir ada di seluruh jalur kereta api di pulau Jawa, meliputi: Jatinegara, Cirebon, Purwakarta, Purwokerto, Cilacap, Cepu, Yogyakarta, Solo, Kertosono, Sidotopo, Malang dan Blitar. Lokomotif C28 digunakan untuk menarik kereta express karena memiliki daya 1050 HP (horse power) dan dapat melaju hingga kecepatan maksimum 90 km/jam.

Pada tahun 1934, Lokomotif C28 digunakan untuk menarik kereta express Vlugge Vier. Vlugge Vier diresmikan 1 November 1934 dan menempuh rute Bandung - Jakarta dalam waktu 3 jam, atau hampir sama dengan waktu tempuh kereta Argo Parahyangan saat ini. Pada tahun 1934, Lokomotif C28 digunakan untuk menarik kereta express Vlugge Vijf. Vlugge Vijf menempuh rute Surabaya - Malang dalam waktu 2 jam 30 menit, atau hampir sama dengan waktu tempuh kereta Panataran saat ini.

Salah satu lokomotif C28 yang sangat berjasa dalam mendukung perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia adalah C28 49. Berawal dari teror tembakan dari tentara NICA (Nederland Indische Civil Administration) yang semakin mengancam keselamatan Presiden Republik Indonesia, Ir Soekarno, dan Wakil Presiden, M Hatta, maka presiden memutuskan untuk memindah pusat pemerintahan dari kota Jakarta ke kota Yogyakarta dengan kereta api. Dipilihlah lokomotif C28 49 dengan masinis Hoesein yang dibantu oleh stoker (juru api) Moertado dan Soead. Formasi kereta khusus ini terdiri dari lokomotif C28 49 dan 8 kereta penumpang. Tanggal 3 Januari 1946 pukul 18:00, kereta khusus ini bergerak mundur dari stasiun Manggarai ke arah stasiun Gambir dan berhenti di belakang rumah Ir Soekarno yang ada di Jalan Pegangsaan Timur 56. Setelah seluruh rombongan berada di dalam kereta, kereta khusus ini mulai bergerak maju menuju ke stasiun Manggarai. Kereta khusus ini berhasil melewati barikade tentara NICA yang menjaga ketat stasiun Manggarai dan stasiun Jatinegara, sebuah misi yang penuh dengan resiko. Kerahasiaan perjalanan kereta khusus ini berhasil dilaksanakan dengan baik. Kereta khusus ini tiba di stasiun Yogyakarta pada 4 Januari 1946 pukul 09:30, disambut oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tidak berapa lama kemudian Ir Soekarno berpidato melalui radio, mengumumkan pada seluruh dunia bahwa sejak saat itu pusat pemerintahan Republik Indonesia telah berpindah ke kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta menjadi ibukota Indonesia selama empat tahun.

Lokomotif C28 menjadi lokomotif andalan Staats Spoorwegen dan DKA (Djawatan Kereta Api) karena perawatan mesinnya yang relatif lebih mudah. Lokomotif ini menggunakan bahan bakar minyak residu atau batubara dan menggunakan sistem superheater, yakni sistem pembakaran dengan mengalirkan uap bertekanan tinggi dari kubah menuju ke silinder. Lokomotif ini memiliki susunan roda 4-6-4T dan dilengkapi dengan smoke deflector yang berguna untuk menciptakan arus udara yang mengangkat asap yang keluar dari cerobong, agar asap tidak menempel pada lokomotif dan mengganggu pandangan masinis.

Dari 58 lokomotif C28, saat ini hanya tersisa 1 buah yaitu C28 21 (buatan pabrik Henschel). Lokomotif C28 21 dipajang di Museum Ambarawa (Jawa Tengah).

Lokomotf C53


Lokomotif uap C53 dibeli sejumlah 20 buah oleh perusahaan kereta api Staats Spoorwegen dari pabrik Werkspoor (Belanda). 20 Lokomotif ini didatangkan pada periode 1918 - 1922. Lokomotif C53 digunakan untuk menarik kereta express pada rute Surabaya - Yogyakarta - Kroya - Purwokerto dan Kroya - Banjar. Kereta Eendaagsche Expres diresmikan 1 November 1929 sedangkan kereta Nacht Expres diresmikan 1 November 1936. Kedua kereta expres ini menjelajahi rute Surabaya-Yogyakarta-Purwokerto-Jakarta dalam waktu 11 jam 27 menit, atau hampir sama dengan waktu tempuh kereta Bima saat ini. Ini bukti bahwa Indonesia pernah memiliki kereta api dengan kecepatan tertinggi di Asia pada zaman itu.

Lokomotif C53 memiliki panjang 20792 mm, daya 1200 HP (horse power) dan berat 109,19 ton. Lokomotif C53 dapat melaju hingga 90 km/jam. Lokomotif ini memiliki susunan roda 4-6-2 dengan empat silinder diharapkan dapat memberikan kestabilan ketika dipacu dengan kecepatan tinggi. 10 tahun setelah lokomotif ini datang, kemudian dipasang smoke deflector. Smoke deflector ini berfungsi untuk menciptakan arus udara yang mengangkat asap yang keluar dari cerobong lokomotif, agar tidak menempel pada lokomotif dan mengganggu pandangan masinis.

Dalam prakteknya, secara teknis kinerja lokomotif C53 kurang memuaskan. Pada kecepatan 90 km/jam, lokomotif ini sudah bergetar tidak terkendali, dan pada tahun 1931 dilakukan percobaan dengan kecepatan 100 km/jam, lokomotif ini bergoncang keras. Namun demikian lokomotif ini tetap dipertahankan untuk menarik kereta expres dengan menanggung biaya perawatan yang tidak sedikit. Pada periode tahun 1970, C53 yang tersisa hanya ditugaskan untuk melayani kereta penumpang lokal atau kereta campuran barang dan penumpang di Jawa Timur, seperti dari Surabaya ke Bangil, Madiun atau Solo.

Dari 20 lokomotif C53, hanya tersisa 1 buah yaitu C53 17. Saat ini lokomotif uap C53 17 dipajang di Museum Transportasi, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.


Naah.....kalo begini,cepet mana sama loko diesel??????????

Tidak ada komentar:

Posting Komentar